Logat Jawa Ngapak dan Mataram-an

Faris
5 min readMar 18, 2021

--

www.ethnologue.com

Sebuah foto anak SD sedang berjualan dengan keterangan “nyong bisa laka bersyukure babar blas” lewat begitu saja saat saya sedang asyik memantau status WA sepulang dari aktivitas seharian. Merasa asing dan penasaran, segera saya membalas status teman saya dengan Bahasa Jawa logat mataram-an yang kurang lebih berbunyi “lur, artinya apaan?” yang kemudian dijawab singkat yang kurang lebih berbunyi “aku kok nggak ada bersyukure sama sekali ya” oleh teman saya tersebut. Percakapan kemudian berlanjut membahas tentang Bahasa Jawa dialek ngapak dan dialek mataram-an. Kebetulan teman saya tersebut asli Tegal dan tentu saja berbicara logat ngapak dan saya sendiri berasal dari Boyolali yang secara historis pernah menjadi wilayah Kasunanan Surakarta yang tentu membuat saya berbicara Bahasa Jawa logat mataram-an. Orang ngapak menyebut logat kami dengan logat wetanan/timur yang juga sering disebut orang sebagai Bahasa Jawa logat halus. Heheheh

Saya sendiri tidak habis fikir, mengapa dalam bahasa yang sama namun dalam kenyataannya terdengar sangat berbeda. Saya sendiri pernah mendengar bahwa basa ngapak merupakan bentuk pure dari Bahasa Jawa itu sendiri dan terdengar lebih merakyat, berbeda dengan logat yang saya gunakan yang banyak dipengaruhi oleh budaya aristokrat keraton itu sendiri.

Saya punya beberapa pengalaman lucu tentang teman dari daerah ngapak. Dulu sewaktu masih ngontrak saat kuliah, saya punya teman asli Tegal yang sering main ke kontrakan dan kebetulan bisa lumayan lancar logat wetanan sehingga komunikasi kami pun lancar tanpa kendala. Pernah suatu ketika teman saya tersebut membawa 2 teman SMA nya untuk menginap beberapa hari di kontrakan sembari menunggu jadwal tes masuk sebuah sekolah kedinasan dekat kampus saya, merasa ingin akrab saya mencoba untuk ngobrol bareng. Saya pun berkenalan dan mencoba mencairkan suaana mengajak ngobrol dengan Bahasa Jawa. Awal percakapan basa-basi sebenarnya aman- aman saja. Namun apa daya, setelah pembicaraan serasa agak penjang teman ngapak saya justru terlihat kebingungan. Sebagai mas-mas yang budiman, saya mencoba mengulangi pembicaraan saya dengan pelafalan yang lebih pelan. Masih terlihat kebingungan, teman ngapak saya pun berbalik berbicara kepada saya dengan segala kengapakan-nya. Sampai di titik ini gantian saya yang terlihat kebingungan. Ternyata 2 orang teman saya ini tidak paham logat wetanan dan saya sendiri tidak paham logat ngapak. Komplit!.

Biar nggak saling gagal paham kami pun malah melanjutkan pembicaraan dengan Bahasa Indonesia. Apa daya perbedaan logat kami tidak menghasilkan titik temu yang dipahami bersama. “asyuu sama-sama ngomong Jawa tapi kok ujungnya malah pakai bahasa lain biar saling paham”. Yowislah gakpapa, nasionalis og!

Selain itu berdasarkan pengalaman saya (yang nggak luas-luas) amat, biasanya temen yang berasal dari daerah logat ngapak selalu jadi bahan ceng-cengan oleh teman saya yang penutur logat mataram-an. Walaupun mungkin hal tersebut dilakukan dengan tendensi bercanda, namun harus saya akui terkadang saya memang brengsek. Saya bisa tertawa terpingkal-pingkal ketika mendengar orang ngomong ngapak (duhh maafkan saya).

Sejauh ini saya sudah punya 2 orang teman ngapak yang diberi nickname “Nyong” karena kengapakannya. Tidak bisa dipungkiri bagi kami penutur logat mataram-an yang logatnya terdengar biasa saja, mendengar orang ngomong ngapak di depan mata kami sepertinya sudah mampu untuk membuat saya dan my wetanan fellow tertawa terpingkal-pingkal.

Pengalaman perngapak-an saya belum berhenti begitu saja, sudah 3 minggu ini saya dan beberapa teman fakultas saya sedang praktikum semester blok di sebuah peternakan ayam potong dekat tempat saya. Nah, kebetulan di tempat saya magang ada satu anak kandang asli Kebumen sebut saja Bang Ipul (dan sudah bisa ditebak belio orang ngapak). Dari pertama ngobrol saya sudah tau Bang Ipul berusaha keras untuk menyembunyikan logat ngapak-nya dengan berbicara Bahasa Jawa agak pelan dan pendek-pendek, walau terkadang juga Bang Ipul kelepasan ngomong ngapak yang tentunya membuat kami semua tertawa. Saya sendiri sebenarnya juga agak kasihan juga mendengar Bang Ipul yang mencoba dengan keras berkomunikasi seperti logat yang kami semua pakai.

Ada suatu saat ketika Bang Ipul curhat ke saya. Namanya juga orang curhat, biasanya si pencurhat akan berbicara losss doll tanpa filter, begitu pula dengan Bang Ipul. Sewaktu beliau cerhat ke saya dengan segala kengapakan-nya, saya dipaksa untuk pusing tujuh keliling. Fokus saya terbagi menjadi 3 hal, pertama saya yang memang brengsek harus fokus untuk menahan tertawa setelah telinga saya menerima kengapakan Bang Ipul yang bertubi-tubi yang tentu menurut saya sangat lucu. Kedua, sebagai mas-mas yang berbudi pekerti tentu saja fokus kedua saya yaitu mendengarkan curhat dengan seksama untuk identifikasi dari pokok permasalahan yang membuat sang pencurhat galau. Nah yang ke-tiga fokus saya belum berhenti sampai disini, serasa belum puas untuk membuat saya terpaksa fokus dan konsentrasi, titik fokus ketiga adalah ketika saya dipaksa berfikir keras untuk memahami apa yang Bang Ipul katakan. Baru kali ini curhat berasa begitu menantang.

Jujur saja, terkadang terdapat beberapa kosa kata ngapak yang menurut saya susah untuk dimengerti. Barusan si Nyong teman saya yang dari Tegal mengetes saya dengan kalimat “bagjane nyong maring kowen udan-udan ya, ka bisa karo lanang liya ah” yang sukses membuat saya yang sama-sama menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa ibu menjadi seperti terasing dalam bahasa sendiri. Nah dari sini apakah sobat wetanan ku paham apa artinya?

Setelah saya menyerah, baru teman saya menjelaskan terlebih dahulu arti kata “bagja” yang menurutnya berarti “aku bela-belain”. jadi kalau kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia, kalimat yang teman saya berikan artinya kurang lebih “aku bela-belain ke kamu sampai hujan-hujanan, ternyata kok bisa kamu sama cowo lain”. Sampai disini saya tercengang, ternyata selain logat yang sangat berbeda, basa ngapak ternyata masih menggunakan beberapa kosakata yang sudah jarang kami warga wetanan gunakan.

Nah tadi kan terjemahan versi Bahasa Indonesia. Misal kalimat “bagjane nyong maring kowen udan-udan ya, ka bisa karo lanang liya ah” saya modifikasi menjadi versi Jawa mataram-an yang sesuai dengan tempat asal saya, kurang lebih akan menjadi seperti ini “aku mbelani ro koe nganthi kudanan lho, kok iso koe karo lenang liya ig”. Lumayan terlihat berbeda bukan?

Semenjak kuliah saya banyak bertemu dengan teman-teman berbahasa Jawa dari berbagai daerah. Walaupun bahasa yang kami ucapkan sama, ternyata banyak teman saya yang berbicara mengunakan logat dengan intonasi yang bervariasi dan berbagai kosakata khas daerah mereka masing-masing. Wah Bahasa Jawa sendiri ternyata kaya juga ya.

--

--

Faris
Faris

Written by Faris

deaf, blind and mostly dumb

No responses yet